03 Oktober 2009

Belajar Melihat Dari Lain Sisi

Mencoba melihat dari sisi yang lain sering membuatku menuai komplen. Aku sendiri selalu menerima apapun yang namanya kritik masukan dari banyak pihak. Cuma satu yang bikin aku heran. Aku menulis di blog yang terbuka untuk umum termasuk yang mau protes. Tapi sedikit sekali yang komplen di situ. Kebanyakan lebih suka komplen di YM atau skype yang tidak bisa diakses oleh banyak orang. Fenomena apakah ini..?

Seperti tulisan tentang batik kemarin. Hanya satu dua saja yang mau berinteraksi, itupun masih moderat. Kritikan keras malah aku dapat di YM kemarin sore. Dari bahasan batik, obrolan melebar ke banyak hal yang pernah aku tuliskan di blog.

Rasanya tak hanya sekali ini aku ungkap ke semua teman. Aku sudah cukup nyaman dengan cap sebagai pelawan arus, walau maksudku tidak begitu. Tapi aku kan tidak bisa memaksa orang lain untuk mengikuti opini aku. Dunia bebas seperti saat sekarang membuatku bebas berteriak apa saja. Tapi yang lebih berat justru aku pun harus bisa menerima teriakan orang lain sekeras apapun itu dan sebesar apapun penyebrangan idenya dari pikiranku. Karena dunia bebas bagiku untuk menambah warna dunia bukannya menambah rasa permusuhan.

Satu yang ingin aku katakan, aku hanya ingin melihat segalanya dari sisi yang lain. Tak lebih. Dan itu bukan hanya di internet, tapi di banyak sisi kehidupanku. Tidak hanya sekali dua kali aku dikomplen oleh yang di rumah. Tapi aku hanya memberikan alasan kenapa aku berpikir seperti itu tanpa aku paksakan istriku untuk berpikir sama.

Seperti pada waktu lebaran kemarin. Sayangku bilang akan beli kue kering, karena teman, tetangga dan ibu-ibu di sekitarnya juga bikin atau beli. Aku bilang ga usah. Kalo mau nyediain suguhan buat tamu mending buah saja. Bukan aku melawan arus. Tapi disaat semua orang menyediakan nastar dan biskuit si engkong, apa ya tertarik menyentuh suguhan yang sama.

Seperti ketika mau mudik istriku bilang mau beli baju koko buat ortu. AKu pun bilang ga usah. Kalo mau ngasih mending uangnya saja karena kita tak tahu apa yang ortu butuhkan saat ini. Kalo merasa ga pantas memberi uang yang cuma sedikit dan maksa pengen ngasih baju, nanti saja beberapa bulan setelah lebaran. Toh saat lebaran ini kebanyakan saudara-saudaraku juga kirim baju koko buat ortu. Selain lebaran kayaknya ga ada yang kepikiran ngasih. Nah disaat orang lain ga ngasih, menurutku itu waktu yang lebih tepat untuk memberi.

Sama seperti ketika orang-orang ribut untuk pakai batik. Rasanya aku males dengan orang-orang yang sok heboh semacam itu. Toh sebelum mereka ribut aku sudah suka pakai batik. Anehnya ada satu temen yang sekarang sok nasionalis tentang batik itu, dulu suka mencelaku kayak pak camat saja pake batik. Nah, lho...

Tak perlulah kita bertengkar. Kita lihat saja sampai kapan pemakaian batik oleh si heboh ini akan bertahan. Karena yang sudah-sudah pun tak pernah bertahan lama. Kalo memang semua dari kita peduli dan mau sadar memakai batik sejak dulu. Perajin batik tak perlu sampai pada gulung tikar karena ga ada yang mau beli. Kalo perbatikan kita maju, tak perlu sampai dipatenkan, seluruh dunia bakal maklum kalo batik itu punya kita.

Mungkin kita bisa belajar dari Sherina kecil dulu untuk melihat lebih dekat agar kita bisa mengerti tak hanya permukaannya saja.


2 comments:

  1. emang, cak....,,

    untuk menjadi berbeda dari orang lain ntu harus bisa melihat sesuatu dengan cara yg berbeda pula...,, ach, kangen tulisan mas rawins euy...,,

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena