Yang sedikit menarik dari acara mudik kemarin adalah ketika aku mampir ke Pondok Pesantren di daerah Gandrungmangu. Lama-lama tak tahan dengan sms anak-anak santri disana yang mempertanyakan menghilangnya aku dari peredaran.
Beberapa tahun lalu aku memang sering di sana, walau ada beberapa santri senior yang sepertinya memusuhiku dengan alasan aku merusak pemikiran beberapa santri yang kritis.
Dulu aku sering ikut diskusi tentang ancient techology di milist yang mau tak mau harus membuka kitab suci lintas agama dan legenda kuno. Kekurangmampuanku membaca tafsir Al Quran membawaku belajar kesana agar aku bisa mendekati kebenaran penjabaran ayat per ayatnya. Bagaimanapun sejak kecil aku dicekoki bahwa Quran itu sumber dari segala sumber pengetahuan. Rasanya tak salah bila aku tertantang untuk ikut menggali itu.
Ternyata ada beberapa santri muda yang merasa seide dan merasa bila selama ini mereka terkungkung oleh pola pembelajaran yang cenderung tradisional. Ketika mereka aku kenalkan dengan internet, mulailah sentuhan sentimen mulai muncul. Berkali-kali aku terangkan bahwa internet sama dengan pisau. Bisa buat ngrajangi brambang, bisa juga buat bunuh orang. Tapi susah sekali menghapus kesan dari mereka bahwa internet itu identik dengan gambar saru.
Begitu juga ketika melihat pembahasanku menyerempet hal-hal yang menurut mereka tidak sesuai ajaran yang selama ini mereka terima. Seperti ketika aku mencari ayat tentang penciptaan adam. Aku melihat ada pertentangan dari yang aku tahu sejak kecil. Antara adam diciptakan di surga dan pernyataan tentang manusia pertama yang akan menginjak surga adalah Muhammad. Juga dikatakan surga itu banyak bidadari dan segala yang ada disana boleh dimanfaatkan. Tapi kenapa di surganya Adam tidak ada bidadari dan adanya malah pohon larangan. Apakah ada dua surga yang berbeda..?
Bukan pencerahan yang aku terima, malah cap sesat yang ada. Kalo Tuhan bilang jadi, ya jadilah, nothing other comment. Itu saja...
Jadi aku pikir wajar bila konsep keagamaan makin sulit diterima anak sekarang. Keterbukaan informasi menuntut ada pencerahan yang mudah diterima. Dan itu menurutku harus digali bukannya ditutupi dengan kata musyrik.
Sampai waktu itu aku bilang, kalo memang Quran tidak boleh disentuh selain untuk urusan ketuhanan, simpan saja di akuarium buat pajangan barang antik.
Buatku, urusan ketuhanan itu masalah keyakinan. Masalah hati. Masalah pemikiran otak lain lagi. Wacana harus selalu dicari tanpa harus goyah keyakinan. Apakah selama ini hanya orang beragama yang berbuat baik. Seorang atheis dapat saja menjadi seorang humanis, sebagaimana Fidel Castro yang begitu dicintai rakyatnya. Atau seperti Voltaire yang memperjuangkan kebebasan rakyat jelata Prancis dari kungkungan penguasa pemerintahan dan penguasa agama yang absolut.
Mr Bush yang beragama nyatanya telah menjadi teroris nomor satu di dunia walaupun bersembunyi dibalik nama anti terorisme. FPI yang jelas-jelas beragama luar dalam pun belajar menjadi teroris kecil-kecilan dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar.
Berawal dari itu aku pergi dari sana dan mulai mencari-cari sendiri. Dan salahkah aku bila pada akhirnya aku jadi skeptis kepada kata agama..?
Sebagai penutup, aku kutipkan dari tulisan lama :
Eskimo: "Jika saya tak tahu apa-apa tentang Tuhan dan dosa, apakah saya akan masuk neraka?"
Pendeta: "Tidak, jika kamu memang tidak tahu."
Eskimo: "Lalu kenapa kamu memberi tahu saya?"
Suatu saat aku akan mencarimu, Tuhan...
Beberapa tahun lalu aku memang sering di sana, walau ada beberapa santri senior yang sepertinya memusuhiku dengan alasan aku merusak pemikiran beberapa santri yang kritis.
Dulu aku sering ikut diskusi tentang ancient techology di milist yang mau tak mau harus membuka kitab suci lintas agama dan legenda kuno. Kekurangmampuanku membaca tafsir Al Quran membawaku belajar kesana agar aku bisa mendekati kebenaran penjabaran ayat per ayatnya. Bagaimanapun sejak kecil aku dicekoki bahwa Quran itu sumber dari segala sumber pengetahuan. Rasanya tak salah bila aku tertantang untuk ikut menggali itu.
Ternyata ada beberapa santri muda yang merasa seide dan merasa bila selama ini mereka terkungkung oleh pola pembelajaran yang cenderung tradisional. Ketika mereka aku kenalkan dengan internet, mulailah sentuhan sentimen mulai muncul. Berkali-kali aku terangkan bahwa internet sama dengan pisau. Bisa buat ngrajangi brambang, bisa juga buat bunuh orang. Tapi susah sekali menghapus kesan dari mereka bahwa internet itu identik dengan gambar saru.
Begitu juga ketika melihat pembahasanku menyerempet hal-hal yang menurut mereka tidak sesuai ajaran yang selama ini mereka terima. Seperti ketika aku mencari ayat tentang penciptaan adam. Aku melihat ada pertentangan dari yang aku tahu sejak kecil. Antara adam diciptakan di surga dan pernyataan tentang manusia pertama yang akan menginjak surga adalah Muhammad. Juga dikatakan surga itu banyak bidadari dan segala yang ada disana boleh dimanfaatkan. Tapi kenapa di surganya Adam tidak ada bidadari dan adanya malah pohon larangan. Apakah ada dua surga yang berbeda..?
Bukan pencerahan yang aku terima, malah cap sesat yang ada. Kalo Tuhan bilang jadi, ya jadilah, nothing other comment. Itu saja...
Jadi aku pikir wajar bila konsep keagamaan makin sulit diterima anak sekarang. Keterbukaan informasi menuntut ada pencerahan yang mudah diterima. Dan itu menurutku harus digali bukannya ditutupi dengan kata musyrik.
Sampai waktu itu aku bilang, kalo memang Quran tidak boleh disentuh selain untuk urusan ketuhanan, simpan saja di akuarium buat pajangan barang antik.
Buatku, urusan ketuhanan itu masalah keyakinan. Masalah hati. Masalah pemikiran otak lain lagi. Wacana harus selalu dicari tanpa harus goyah keyakinan. Apakah selama ini hanya orang beragama yang berbuat baik. Seorang atheis dapat saja menjadi seorang humanis, sebagaimana Fidel Castro yang begitu dicintai rakyatnya. Atau seperti Voltaire yang memperjuangkan kebebasan rakyat jelata Prancis dari kungkungan penguasa pemerintahan dan penguasa agama yang absolut.
Mr Bush yang beragama nyatanya telah menjadi teroris nomor satu di dunia walaupun bersembunyi dibalik nama anti terorisme. FPI yang jelas-jelas beragama luar dalam pun belajar menjadi teroris kecil-kecilan dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar.
Berawal dari itu aku pergi dari sana dan mulai mencari-cari sendiri. Dan salahkah aku bila pada akhirnya aku jadi skeptis kepada kata agama..?
Sebagai penutup, aku kutipkan dari tulisan lama :
Eskimo: "Jika saya tak tahu apa-apa tentang Tuhan dan dosa, apakah saya akan masuk neraka?"
Pendeta: "Tidak, jika kamu memang tidak tahu."
Eskimo: "Lalu kenapa kamu memberi tahu saya?"
Suatu saat aku akan mencarimu, Tuhan...
kang kok ra gawe buku wae tho, njenengan ki nek nulis isa jlentreh ngunu, nggenah dirasakna...
BalasHapusmenunggu dukungan dana dari hongkong...
BalasHapusnesu ora ki, hongkong digowo gowo...
lambemu, weeeeeeeee...
BalasHapusaq mbok diajari nulis sing gatuk kaya ngene iki tho kang, hiks...
BalasHapusLambeku dari dulu masih tetep satu.
BalasHapusJo ngunu tho, aku aja belajar nulis dari dirimu kok...