Beberapa orang teman pernah ngajak ngobrol tentang UU ITE dan kaitannya dengan kebebasan berpendapat, terutama untuk blogger. Mencuatnya kasus Prita dan Luna Maya sempat menyurutkan gairah menulis mereka.
Aku sendiri sementara ini masih cuek dengan ancaman pasal-pasal karet kontraproduktif tersebut. Aku melihat kenyataan bahwa budaya menulis masyarakat masih sangat jauh dari harapan. Kebanyakan masih berkutat di level nyampah update status. Mau bisa berkembang bagaimana, bila tidak dipancing dan malah dibuat ketakutan.
Mereka yang selalu membawa-bawa hukum untuk mengatasi yang katanya pencemaran nama baik di internet, menurutku hanyalah orang yang belum dewasa dan tak menginginkan dirinya maju. Memang benar kita hidup di negara hukum, tapi untuk apa hukum dibuat kalo hanya membuat rakyat menjadi bodoh. Apalagi bila melihat realita di lapangan, hukum hanya berlaku untuk orang kecil. Mereka yang punya uang dengan mudah mempermainkan hukum.
Dan sebuah fenomena baru dalam hukum kita, adalah berbeloknya hukum ketika berhadapan dengan opini publik. Walau aparat hukum kita mengatakan tak terpengaruh oleh hal itu, tetap saja kita akan bertanya, akankah kasus ketua KPK dihentikan bila tidak didesak opini publik? Akankah kasus Prita segera selesai bila masyarakat diam saja? Kalo memang Prita tidak bersalah, kenapa harus menunggu satu setengah tahun untuk membebaskannya?
Lihat saja Susno Duaji yang tiba-tiba mencabut somasinya kepada Bambang Widodo Umar yang katanya mencemarkan nama baiknya, setelah Bambang cuek bebek tidak mau mencabut pernyataannya di koran tempo. Akankah Duaji mencabut somasinya bila sebelumnya tidak ada kasus Prita atau ketua KPK..?
Kembali ke masalah UU ITE dan kebebasan pendapat.
Bebas berpendapat adalah hak setiap warganegara. Tapi kita tak bisa menuntut bebas bicara tanpa mau tahu orang lain pun memiliki hak yang sama. Dan ketika ada pendapat yang miring, kita tak bisa begitu saja mengganggap orang itu bicara salah. Harus ditelusur kenapa sampai berpendapat seperti itu.
Orang bisa nulis meledak ledak di blog, pasti ada saluran yang tersumbat. Membungkam blogger tak akan menyelesaikan masalah, selama sumbatan itu tidak dibuang. Jangan sampai orang komplen karena pelayanan kurang beres, malah yang komplen yang diancam, sementara pelayan yang tidak becus malah berbuat sewenang-wenang.
Sebagai bangsa yang dibesarkan dengan musyawarah mufakat, penggunaan hak jawab sepertinya lebih tepat dijadikan penyelesaian. Seperti pada blog, kan selalu ada kolom komentar. Apa susahnya menyampaikan sanggahan disana. Sehingga penulis blog tersebut juga dilatih untuk bertanggungjawab dengan tulisannya.
Benar atau salah teramat relatif di dunia manusia. Satu satunya jalan untuk menyelesaikan pertikaian adalah kompromi. Dengan belajar menulis yang bertanggungjawab, kita akan belajar hidup dalam toleransi dan kompromi. Sehingga wacana terus bisa berjalan, dan kita tak pernah merasa terkekang untuk menyampaikan pendapat.
Akankah dunia bebas berpendapat yang bertanggungjawab tak cuma mimpi..?
Ada pendapat lain..?
Aku sendiri sementara ini masih cuek dengan ancaman pasal-pasal karet kontraproduktif tersebut. Aku melihat kenyataan bahwa budaya menulis masyarakat masih sangat jauh dari harapan. Kebanyakan masih berkutat di level nyampah update status. Mau bisa berkembang bagaimana, bila tidak dipancing dan malah dibuat ketakutan.
Mereka yang selalu membawa-bawa hukum untuk mengatasi yang katanya pencemaran nama baik di internet, menurutku hanyalah orang yang belum dewasa dan tak menginginkan dirinya maju. Memang benar kita hidup di negara hukum, tapi untuk apa hukum dibuat kalo hanya membuat rakyat menjadi bodoh. Apalagi bila melihat realita di lapangan, hukum hanya berlaku untuk orang kecil. Mereka yang punya uang dengan mudah mempermainkan hukum.
Dan sebuah fenomena baru dalam hukum kita, adalah berbeloknya hukum ketika berhadapan dengan opini publik. Walau aparat hukum kita mengatakan tak terpengaruh oleh hal itu, tetap saja kita akan bertanya, akankah kasus ketua KPK dihentikan bila tidak didesak opini publik? Akankah kasus Prita segera selesai bila masyarakat diam saja? Kalo memang Prita tidak bersalah, kenapa harus menunggu satu setengah tahun untuk membebaskannya?
Lihat saja Susno Duaji yang tiba-tiba mencabut somasinya kepada Bambang Widodo Umar yang katanya mencemarkan nama baiknya, setelah Bambang cuek bebek tidak mau mencabut pernyataannya di koran tempo. Akankah Duaji mencabut somasinya bila sebelumnya tidak ada kasus Prita atau ketua KPK..?
Kembali ke masalah UU ITE dan kebebasan pendapat.
Bebas berpendapat adalah hak setiap warganegara. Tapi kita tak bisa menuntut bebas bicara tanpa mau tahu orang lain pun memiliki hak yang sama. Dan ketika ada pendapat yang miring, kita tak bisa begitu saja mengganggap orang itu bicara salah. Harus ditelusur kenapa sampai berpendapat seperti itu.
Orang bisa nulis meledak ledak di blog, pasti ada saluran yang tersumbat. Membungkam blogger tak akan menyelesaikan masalah, selama sumbatan itu tidak dibuang. Jangan sampai orang komplen karena pelayanan kurang beres, malah yang komplen yang diancam, sementara pelayan yang tidak becus malah berbuat sewenang-wenang.
Sebagai bangsa yang dibesarkan dengan musyawarah mufakat, penggunaan hak jawab sepertinya lebih tepat dijadikan penyelesaian. Seperti pada blog, kan selalu ada kolom komentar. Apa susahnya menyampaikan sanggahan disana. Sehingga penulis blog tersebut juga dilatih untuk bertanggungjawab dengan tulisannya.
Benar atau salah teramat relatif di dunia manusia. Satu satunya jalan untuk menyelesaikan pertikaian adalah kompromi. Dengan belajar menulis yang bertanggungjawab, kita akan belajar hidup dalam toleransi dan kompromi. Sehingga wacana terus bisa berjalan, dan kita tak pernah merasa terkekang untuk menyampaikan pendapat.
Akankah dunia bebas berpendapat yang bertanggungjawab tak cuma mimpi..?
Ada pendapat lain..?
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih