14 Desember 2009

Pranata Salah Mangsa

Dalam budaya Jawa ada istilah yang dinamakan pranata mangsa. Ini merupakan perhitungan musim asli Jawa yang sudah ada sebelum kalender import muncul. Iklim yang berlaku di Pulau Jawa menurut pemahaman ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim hujan (rendheng), pancaroba akhir musim hujan (marèng), musim kemarau (ketigå) dan musim pancaroba menjelang hujan (labuh).

Musim-musim ini terutama dikaitkan dengan perilaku hewan serta tumbuhan (fenologi) dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Bambu yang ditebang pada masa kanem akan awet dan bebas serangan bubuk. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melakukan penangkapan ikan.

Karena perhitungan pranata mangsa ini mengikuti alur keseimbangan alam, pengelolaan pertanian menjadi efektif dan tidak boros biaya. Waktu awal tanam padi diselaraskan dengan munculnya bintang waluku (orion). Sehingga menjelang panen bersamaan dengan masanya ular dan burung pemakan serangga keluar sarang, sehingga serangan tikus dan wereng dapat dikurangi.

Sayangnya keserakahan manusia merubah keseimbangan alam. Pencemaran meningkat, burung dan ular ditangkap untuk dijual. Sehingga hama penyerang tanaman pertanian kehilangan predator alaminya. Untuk mengatasinya petani harus mengeluarkan dana ekstra untuk menyemprotkan anti hama. Padahal anti hama itu meracuni lingkungan. Bahan makanan kita ikut tercemar. Ikan-ikan dan binatang bermanfaat di sawah juga ikut mati.

Itu dalam lingkup kecil. Dalam skala besar mungkin itu yang dinamakan pemanasan global. Cuaca tidak menentu. Hujan datang di musim kemarau, sementara musim hujan malah kemarau panjang. Disini kekeringan, disana kebanjiran. Iklim makin tidak bersahabat, karena memang kita memusuhinya.

Dengan pranata mangsa, dalam setahun tanam padi memang hanya dijadwalkan sekali. Kemudian disambung dengan jagung atau palawija. Mungkin maksudnya agar unsur hara dalam tanah bisa terjaga dengan menggunakan sistem tanam gilir. Tapi manusia ingin setahun panen padi tiga kali. Irigasi dibangun, bibit transgenik dibuat, pupuk dan antihama sintetik digunakan. Kenyataannya menimbulkan biaya tinggi dan meninggalkan residu racun dalam tanah maupun hasil panen.

Kenapa sih kita maunya dapat banyak dan cepat panen. Sampai-sampai sekarang banyak yang baru tiga bulan menikah sudah beranak. Budaya instan sudah membudayakah..?

2 comments:

  1. Hahaha....iya, manusia pun maunya instan...nikah sebula dua bulan langsung beranak... oya, produksi padi digenjot, agar bisa panen tiga kali setahun, ternyata secara ilmu alamiahnya itu salah ya...

    BalasHapus
  2. Semoga artikel ini mampu menggugah kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Bila manusia sudah merasa "lebih ahli" dari alam, maka biasanya ketidakteraturan yang akan timbul.....

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena