Mudik kemarin acara pokoknya adalah selamatan 4 bulan istriku atau yang sering disebut ngupati. Keluargaku sendiri sudah tidak menggunakan acara-acara semacam itu, tapi mertuaku masih.
Dan bila bicara tentang adat tersebut, kita mungkin harus membuka wacana lama tentang penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Soalnya banyak sebagian dari masyarakat kita yang masih memncampuradukan acara semacam itu sebagai adat dan tuntunan agama.
Semua ini tak lepas dari peran wali songo dulu. Ketika melihat kuatnya kultur Hindu Buddha dan faham kejawen, digunakanlah strategi asimilasi. Budaya lama sementara diadopsi dan tidak dihilangkan, tapi secara perlahan unsur-unsur keislaman dimasukan. Harapannya setelah iman dianggap kuat, unsur tradisinya bisa dihilangkan. Tapi kenyataan bicara lain, bahkan banyak yang salah kaprah mencampuradukkan antara tuntunan agama dan tradisi. Walau kedua hal tersebut bukan hal jelek, tapi pemahaman akan pemisahan dasarnya tetap perlu diketahui.
Tradisi ngupati (4 bulan), mitoni (7 bulan) dan berbagai macam slametan yang ada di masyarakat itu memang budaya asli bangsa kita sejak jaman dulu. Terutama sekali budaya penyampaian nasehat melalui simbol. Seperti acara ganti kain sampai 7 kali pada acara mitoni, sebenarnya bermaksud untuk menyampaikan nasehat yang terkandung dalam motif kainnya seperti, sidomukti (melambangkan kebahagiaan), sidoluhur (melambangkan kemuliaan), truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup), dll. Contoh lainnya adalah penggunaan aksesori belut, kelapa muda digambari wayang juga sebagai nasehat melalui simbol.
Sedangkan acara pembacaan surat Yusuf atau Maryam, itu hasil proses asimilasi yang disebutkan di atas. Dahulu, slametan yang bisa diartikan doa meminta keselamatan dilakukan dengan menggelar sesaji di tempat keramat atau minta restu arwah leluhur. Bagian ini yang kemudian diganti dengan acara pembacaan ayat al quran sebelum menghilangkan bagian yang lain.
Karena memang unsurnya penyusupan agar tidak begitu disadari perubahannya, jarang sekali ada penyampaian secara saklek, bahwa yang ini agama dan ini tradisi. Sehingga ketika batasan diantara keduanya makin kabur, sebagian dari kita tidak mau menyentuh karena menganggap semua itu hanya tradisi, atau bagi yang menjalankan menganggap semua itu adalah tuntunan agama.
Tak heran bila dalam acara keagamaan masih ada istilah kirim doa untuk arwah yang biasanya tokoh besar. Padahal dalam agama Islam dijelaskan bahwa manusia yang mati putus segala hubungannya dengan dunia kecuali tiga hal, doa anak yang sholeh, amal jariyah dan ilmu yang berguna. Jadi menurutku doa yang diterima oleh arwah tersebut hanya doa dari anaknya, itupun yang sholeh. Maka aku bisa katakan, doa semacam ini adalah peninggalan tradisi walau doa yang dibaca sesuai dengan tuntunan agama.
Tapi, walau berasal dari sumber yang berbeda, keduanya sama-sama bernilai baik dan demi kebaikan. Jadi tidak ada yang salah bila sebagian masyarakat kita ada yang mempertahankan. Dan yang penting diketahui adalah mana yang adat mana yang agama.
Soalnya agak susah bila pemahaman kabur itu dipertahankan di masa anak sekarang membutuhkan keterbukaan informasi. Tidak boleh duduk di pintu harus gamblang disebutkan menghalangi orang lewat, bukan cuma kata "ora ilok atau pamali."
Sehingga pertentangan antara yang masih mempertahankan dan tidak, tidak perlu terjadi. Dan semuanya berjalan dalam lingkungan toleransi.
Dan bila bicara tentang adat tersebut, kita mungkin harus membuka wacana lama tentang penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Soalnya banyak sebagian dari masyarakat kita yang masih memncampuradukan acara semacam itu sebagai adat dan tuntunan agama.
Semua ini tak lepas dari peran wali songo dulu. Ketika melihat kuatnya kultur Hindu Buddha dan faham kejawen, digunakanlah strategi asimilasi. Budaya lama sementara diadopsi dan tidak dihilangkan, tapi secara perlahan unsur-unsur keislaman dimasukan. Harapannya setelah iman dianggap kuat, unsur tradisinya bisa dihilangkan. Tapi kenyataan bicara lain, bahkan banyak yang salah kaprah mencampuradukkan antara tuntunan agama dan tradisi. Walau kedua hal tersebut bukan hal jelek, tapi pemahaman akan pemisahan dasarnya tetap perlu diketahui.
Tradisi ngupati (4 bulan), mitoni (7 bulan) dan berbagai macam slametan yang ada di masyarakat itu memang budaya asli bangsa kita sejak jaman dulu. Terutama sekali budaya penyampaian nasehat melalui simbol. Seperti acara ganti kain sampai 7 kali pada acara mitoni, sebenarnya bermaksud untuk menyampaikan nasehat yang terkandung dalam motif kainnya seperti, sidomukti (melambangkan kebahagiaan), sidoluhur (melambangkan kemuliaan), truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup), dll. Contoh lainnya adalah penggunaan aksesori belut, kelapa muda digambari wayang juga sebagai nasehat melalui simbol.
Sedangkan acara pembacaan surat Yusuf atau Maryam, itu hasil proses asimilasi yang disebutkan di atas. Dahulu, slametan yang bisa diartikan doa meminta keselamatan dilakukan dengan menggelar sesaji di tempat keramat atau minta restu arwah leluhur. Bagian ini yang kemudian diganti dengan acara pembacaan ayat al quran sebelum menghilangkan bagian yang lain.
Karena memang unsurnya penyusupan agar tidak begitu disadari perubahannya, jarang sekali ada penyampaian secara saklek, bahwa yang ini agama dan ini tradisi. Sehingga ketika batasan diantara keduanya makin kabur, sebagian dari kita tidak mau menyentuh karena menganggap semua itu hanya tradisi, atau bagi yang menjalankan menganggap semua itu adalah tuntunan agama.
Tak heran bila dalam acara keagamaan masih ada istilah kirim doa untuk arwah yang biasanya tokoh besar. Padahal dalam agama Islam dijelaskan bahwa manusia yang mati putus segala hubungannya dengan dunia kecuali tiga hal, doa anak yang sholeh, amal jariyah dan ilmu yang berguna. Jadi menurutku doa yang diterima oleh arwah tersebut hanya doa dari anaknya, itupun yang sholeh. Maka aku bisa katakan, doa semacam ini adalah peninggalan tradisi walau doa yang dibaca sesuai dengan tuntunan agama.
Tapi, walau berasal dari sumber yang berbeda, keduanya sama-sama bernilai baik dan demi kebaikan. Jadi tidak ada yang salah bila sebagian masyarakat kita ada yang mempertahankan. Dan yang penting diketahui adalah mana yang adat mana yang agama.
Soalnya agak susah bila pemahaman kabur itu dipertahankan di masa anak sekarang membutuhkan keterbukaan informasi. Tidak boleh duduk di pintu harus gamblang disebutkan menghalangi orang lewat, bukan cuma kata "ora ilok atau pamali."
Sehingga pertentangan antara yang masih mempertahankan dan tidak, tidak perlu terjadi. Dan semuanya berjalan dalam lingkungan toleransi.
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih