13 Januari 2010

Analogi Jaka Tarub

Waktu kecil dulu aku pernah terobsesi oleh kisah Jaka Tarub dan 7 bidadari. Saat angon kambing di tepi hutan dan melihat pelangi, sering aku membayangkan di mana ujung pelangi itu untuk bisa melihat bidadari yang mandi. Pikiran itu terlintas begitu saja tanpa aku memikirkan mengintip orang mandi itu saru.

Cerita itu mungkin tidak muncul begitu saja tanpa makna. Bisa jadi itu sebuah nasehat tentang kebiasaan manusia yang suka merusak kemapanan secara curang, yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri.

Sifat manusia yang silau dengan keindahan, membuat Jaka Tarub berbuat jahat mencuri selendang. Lalu pura-pura menolong hanya untuk kemudian menjadikannya istri. Sebenarnya itu merupakan karunia luar biasa yang dia terima dari perbuatan jahatnya. Tapi kenapa rasa penasaran untuk tidak melihat isi periuk saat masak tidak dapat dia tahan. Dan bila akhirnya lumbung padi tempat menyembunyikan selendang kosong, dia juga lah yang merasakan akibatnya.

Bila cerita ini merupakan sebuah nasehat, bagaimana kita menafsirkannya bila harus melihat secara utuh. Kita tak boleh merusak kemapanan yang sudah ada agar tidak berantakan, sementara di awal cerita disebutkan keindahan itu dilakukan dengan sebuah kecurangan. Bolehkah kita curang untuk meraih sesuatu, asalkan setelah itu duduk manis dan mensyukuri apa yang sudah diterima..?

Apakah pencurian itu dianalogikan sebagai pepatah, bahwa untuk mendapatkan sebuah kesuksesan kita harus pantang menyerah. Mengejar ujung pelangi tanpa henti agar dapat memperoleh bidadari. Sebagaimana kita tahu, asumsi umum tentang bidadari adalah perempuan yang teramat cantik dan tinggal di kahyangan yang tidak akan tertandingi oleh perempuan manapun di dunia. Identikkah ini dengan nasehat kejarlah ilmu sampai ke negeri China.

Tapi aku juga punya pemikiran lain. Bila kahyangan dikatakan sebagai tempat yang teramat indah dengan segala fasilitas kenikmatan yang ada, kenapa mau mandi saja harus turun ke bumi..? Kenapa harus meniti pelangi sehingga jejaknya bisa ketahuan manusia..? Kenapa pula harus meletakkan selendang sembarangan sehingga bisa dicuri..? Analogi tentang pejabat dan rakyat kita kah..?

Meraih jabatan dengan kecurangan dan setelah itu tidak bisa amanah sehingga harus masuk bui. Tapi cukupkah kita menyalahkan Jaka Tarub bila memang rakyat kita meletakkan selendangnya sembarangan..?

Pusing ah, mikirin analogi.
Mending melamun punya istri bidadari saja deh...

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena