Mungkin masih banyak dari kita yang menganggap seni lukis sebagai budaya berproses jadul yang sulit untuk dimodernisasi. Karena lukisan bisa berharga ratusan juta, ya karena cap hand made itu. Padahal pelukis sekarang sudah jarang banget yang murni menggunakan imajinasinya. Ketika melukis model pun sudah tak perlu model itu berlama-lama diam mematung di depan pelukisnya.
Seniman sekarang kadangkala membutuhkan satu tim yang melibatkan banyak orang. Itulah kenapa banyak seniman yang menggandeng galeri, sehingga seniman bisa fokus dalam berkarya. Sedangkan untuk proses persiapan melukis dan mengurus penjualan, galeri yang bertindak sebagai pengelola manajemennya.
Sebelum melukis, seniman akan berkonsultasi dengan kurator atau tim teknis tentang ide karyanya. Setelah mendapatkan ide, diadakan pemotretan model. Kemudian hasilnya akan diobrak-abrik dengan bantuan photoshop di komputer. Hasil editan yang dipilih akan disorotkan ke atas canvas melalui proyektor untuk dibuat sketsanya. Jadi sudah tidak perlu lagi membuat garis-garis bantu atau dummy lagi. Setelah itu, barulah seniman mulai berkarya. Begitu karya selesai, kurator mulai membuat tulisan mengupas hasil karya itu. Lalu galeri membuat katalog dan mengadakan pameran untuk memajang karya-karya tersebut.
Hanya untuk sebuah karya seni lukis, banyak sekali orang yang terlibat di belakang layar. Mulai dari pencari ide, fotografer, model, pengarah gaya, tukang edit dan banyak lagi. Jadi wajar bila lukisan tak hanya bernilai seni tinggi, tapi juga berharga mahal, karena yang harus dikasih makan juga banyak.
Hanya saja, seniman kita masih banyak yang teramat sulit untuk diajari kerja disiplin sesuai schedule. Budaya seniman masih identik dengan falsafah semaunya sendiri dengan alasan seni tak bisa dikekang. Tapi anehnya kalo sudah jadi duit mereka jadi rajin nelpon aku nanya kapan ditransfer. Hehehe...
Itu salah satu masalahku sebagai pekerja di bidang bisnis seni. Seperti pemotretan mendadak kemarin. Bagaimana aku tidak kalangkabut, fotografer dan pengarah gaya lagi di Jakarta. Akhirnya aku pakai saja kamera saku dan mencari model seadanya. Untuk pengarah gaya, aku pasang webcam di laptop dan siaran langsung menggunakan skype ke Jakarta. Setelah itu langsung edit dan tracing menggunakan proyektor.
Untuk kerja lemburnya sih aku ga begitu bermasalah karena istri juga bisa ngerti pekerjaanku. Aku bawa lemburan ke rumah pun tidak jadi soal. Aku cuma suka merasa ga enak bila lembur di rumah, padahal yang harus diedit foto-foto untuk lukisan nude. Aku sendiri sih sampai saat ini masih kuat iman, cuma yang lain tuh... Haduuuh...
Seniman sekarang kadangkala membutuhkan satu tim yang melibatkan banyak orang. Itulah kenapa banyak seniman yang menggandeng galeri, sehingga seniman bisa fokus dalam berkarya. Sedangkan untuk proses persiapan melukis dan mengurus penjualan, galeri yang bertindak sebagai pengelola manajemennya.
Sebelum melukis, seniman akan berkonsultasi dengan kurator atau tim teknis tentang ide karyanya. Setelah mendapatkan ide, diadakan pemotretan model. Kemudian hasilnya akan diobrak-abrik dengan bantuan photoshop di komputer. Hasil editan yang dipilih akan disorotkan ke atas canvas melalui proyektor untuk dibuat sketsanya. Jadi sudah tidak perlu lagi membuat garis-garis bantu atau dummy lagi. Setelah itu, barulah seniman mulai berkarya. Begitu karya selesai, kurator mulai membuat tulisan mengupas hasil karya itu. Lalu galeri membuat katalog dan mengadakan pameran untuk memajang karya-karya tersebut.
Hanya untuk sebuah karya seni lukis, banyak sekali orang yang terlibat di belakang layar. Mulai dari pencari ide, fotografer, model, pengarah gaya, tukang edit dan banyak lagi. Jadi wajar bila lukisan tak hanya bernilai seni tinggi, tapi juga berharga mahal, karena yang harus dikasih makan juga banyak.
Hanya saja, seniman kita masih banyak yang teramat sulit untuk diajari kerja disiplin sesuai schedule. Budaya seniman masih identik dengan falsafah semaunya sendiri dengan alasan seni tak bisa dikekang. Tapi anehnya kalo sudah jadi duit mereka jadi rajin nelpon aku nanya kapan ditransfer. Hehehe...
Itu salah satu masalahku sebagai pekerja di bidang bisnis seni. Seperti pemotretan mendadak kemarin. Bagaimana aku tidak kalangkabut, fotografer dan pengarah gaya lagi di Jakarta. Akhirnya aku pakai saja kamera saku dan mencari model seadanya. Untuk pengarah gaya, aku pasang webcam di laptop dan siaran langsung menggunakan skype ke Jakarta. Setelah itu langsung edit dan tracing menggunakan proyektor.
Untuk kerja lemburnya sih aku ga begitu bermasalah karena istri juga bisa ngerti pekerjaanku. Aku bawa lemburan ke rumah pun tidak jadi soal. Aku cuma suka merasa ga enak bila lembur di rumah, padahal yang harus diedit foto-foto untuk lukisan nude. Aku sendiri sih sampai saat ini masih kuat iman, cuma yang lain tuh... Haduuuh...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspendapat ini menarik namun ada terlalu pragmatis dan tidak memberi gambaran obyektif tentang proses karya. Penggambaran yang ada hanya mengenai satu pendapat tertentu, berdasarkan satu pengalaman tertentu saja. Jadi bersifat kasuistis mengenai pengalaman penulis sendiri.
BalasHapus