02 Januari 2010

Beban Seorang Perantau

Masih berkutat di acara pulang kampung...

Di kampungku sebagian besar warganya merantau ke Jakarta sejak lulus sekolah. Tak heran bila ada mobil asing yang berhenti di depan rumah, atau ada tumpukan kardus atau koper di pinggir jalan, komentar yang umum adalah menyebut "Sapa kiye, Jakartaan yah..?"

Pada akhirnya dalam benak masyarakat di kampungku, istilah Jakartaan diasumsikan sebagai perantau. Termasuk aku yang merantau ke Jokja pun tak lepas dari sebutan Jakartaan.



Dan yang jadi beban buat orang yang terkena cap Jakartaan ini adalah, asumsi mereka sukses di perantauan. Mungkin ini akibat dari kesalahpahaman antara perantau dan yang di kampung. Perantau bekerja keras karena ingin setiap pulang bisa membawa uang banyak untuk keluarga. Yang di kampung menerimanya dengan pikiran, merantau itu sumber kesuksesan materi. Tak heran setiap kali musim mudik, banyak orang yang ikut ke Jakarta tanpa tahu disana mau apa. Yang penting merantau agar sukses.

Padahal banyak sebagian temanku yang tak bisa berhasil seperti yang lain. Tapi karena asumsi perantau harus banyak duit sudah tertanam, mereka malu untuk mengakui kenyataan. Di kota jadi gelandangan pun, setiap pulang akan mengatakan di Jakarta gampang cari duit banyak.

Seperti seorang teman cewek yang aku tahu dulunya dia hanya kerja di konveksi. Dalam waktu beberapa tahun dia bisa tampil glamour setiap pulang lebaran. Semua orang termasuk aku tetap percaya bila dia sudah menjadi bos konveksi. Soalnya beberapa orang yang ikut dia pun kelihatannya ikut sukses. Tapi ketika aku bilang mau ikut kerja, dia beberapa kali menolak mentah-mentah.

Pas aku di Jakarta, tak sengaja aku ketemu dia dengan segala kekagetannya. Sampai akhirnya dia buka rahasia dengan permohonan agar info itu jangan sampai terdengar orang di kampung. Ternyata dia tak kuat dengan penghasilan minim sebagai tenaga harian di pabrik, sementara tuntutan sukses begitu besar dari keluarganya. Diapun banting sopir menjual diri demi status Jakartaannya itu. Kesuksesannya meningkat ketika beberapa perempuan kampung yang dia ajak ke Jakarta dijadikan anak buahnya di bisnis barunya.

Aku sendiri tak sepenuhnya menyalahkan jalan yang dia tempuh. Masyarakat di kampung pun ikut andil dalam penjerumusan ini. Mungkin perlu disurvai, berapa besar harapan masyarakat desa terhadap perantau untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tanpa mau tahu kenyataan bahwa porsi rejeki setiap orang berbeda-beda. Selama seorang perantau dianggap identik dengan pabrik duit, masalah seperti itu akan selalu ada. Soalnya, sebagian besar orang yang ikut ke kota dengan penuh harapan itu, setelah menemukan kenyataannya berbeda. Mereka tidak menjadi sadar dan kemudian berinisiatif merubah opini masyarakat. Tapi malah ikut menjadi penggembira melanjutkan penipuan publik ini.

Tapi merubah pandangan masyarakat tanpa ada campur tangan penguasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa juga sulit. Bagaimanapun ini urusan perut yang bisa membuat orang lupa segalanya. Ketimpangan dalam pemerataan pembangunan tetap menjadi sebab utamanya.

Siapa sih yang tahan di desa bila tiap hari hanya disuguhi jalan yang penuh lubang. Sementara di kota jalanan mulus dan dipenuhi lubang berjalan yang indah-indah. Hmmmm...

5 comments:

  1. cuma satu kata : hedonisme...

    BalasHapus
  2. IYA KADANG RISI JUGA, TIAP KALI DIANGGAP DEMIKIAN. MERANTAU BUKAN CUMA USAHA UNTUK MEMPERBAIKI ATAU MENGADU NASIB, TAPI JUGA UNTUK MENIMBA PENGETAHUAN, ILMU DAN PENGALAMAN DALAM RANGKA PENDEWASAAN DIRI, TAPI SELALU DITUNTUT HARUS SUKSES. DAN KALAU TIDAK SUKSES MAKA DIANGGAP MEMALUKAN.

    BalasHapus
  3. Yah begitulah kenyataan. Termasuk pemerintah juga ikut-ikutan berbuat sama kepada perantau manca dengan memberi nama pahlawan devisa. padahal aslinya tetap sapi perah bangsa...

    BalasHapus
  4. mungkin benar juga ya, kang... kalo pemerintah punya andil yang besar dalam masalah ini..ketidak merataan pembangunan yang hanya terpusat di jawa umumnya dan jakarta khususnya membuat kecemburuan sosial di wilayah pedesaan..gimana kalo wacana ibukota dipindah, pasti akan ada pemerataan yang mungkin cukup untuk mengurangi ketimpangan pembangunan dan migrasi...he..he..Let's Think Out Of The Box:Astaga.com Portal Lifestyle On The Net

    BalasHapus
  5. mungkin mindset pejabatnya saja yang dirubah. memindah ibu kota biayanya pasti tinggi banget.

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena