31 Januari 2010

Budak Takdir..?

Menyaksikan film Spy Next Door semalem, aku malah jadi ingat film Jackie Chan lainnya yang berjudul The Myth. Secara teknis, aksi dan kekocakan kedua film tersebut sama dengan film-filmnya yang lain. Tapi dari sisi alur cerita, kedua film itu sedikit berlawanan walau sebagian tema masih identik.

Spy Next Door menceritakan Bob Ho, seorang pensiunan CIA yang berniat menikahi Gillian, tetangganya seorang janda beranak 3. Dia harus bersusah payah meraih simpati ketiga anak itu agar tidak memusuhinya dan membiarkan dia menikahi ibunya. Segala usahanya tidak berhasil sampai suatu saat salah seorang anak mendownload data rahasia rusia di komputernya. Mafia Rusia terus mengejar data itu dan Bob Ho yang sebenarnya sudah mantan harus kembali terjun ke dunia spionase demi melindungi anak-anak Gillian. Singkat cerita, cinta Gillian dan simpati ketiga anaknya bisa diraih karena faktor kebetulan, walau untuk sebuah kebetulan itu dia harus mati-matian menghadapi mafia Rusia.



Sedangkan The Myth, menceritakan tentang Meng Yi, seorang jendral jaman dinasti Chin yang harus menyelamatkan seorang putri yang akan dijadikan selir kaisar. Mereka berdua harus berjuang mati-matian dari kejaran pasukan pemberontak setelah terpisah dari pasukannya. Harus menerobos medan berat berjalan kaki di tengah badai salju untuk mencapai negerinya. Hanya untuk menyerahkan sang putri ke kaisar dengan selamat, padahal keduanya saling mencintai. Sang jendral harus melupakan perjuangan berat dan cintanya hanya karena hidup dan matinya hanya untuk kaisar. Sang putri pun harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk meninggalkan cintanya demi kaisar.

Skenario semacam ini seringkali kita rasakan dalam kehidupan kita. Kita mati-matian berusaha untuk meraih sesuatu dan tak pernah bisa tercapai. Tapi hanya karena sebuah kebetulan, semuanya datang dengan sendirinya.

Di sebagian hidup kita yang lain, kita kadang harus mati-matian memperjuangkan sesuatu yang justru untuk menjauhkan kita dari sesuatu yang sangat kita harapkan. Segala sakit, pedih, perihnya harus kita jalani sementara yang kita bela mati-matian tak pernah mau tahu apa yang kita rasakan dan inginkan.

Itulah...
Makanya aku kadang ingin bertanya.
Haruskah kita sampai mati-matian memperjuangkan hidup, bila pada akhirnya kita menyerahkan diri menjadi budak takdir...?


0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena