26 Januari 2010

Kamera dan Dilema

Bicara soal kamera, aku tak pernah bisa lepas dengan kejadian beberapa tahun lalu. Ketika untuk pertama kalinya aku pulang dari pelarian panjang dan bisa berjumpa jagoanku. Ternyata kerinduan jagoanku bukan cuma kepada ayahnya, tapi ke Canon EOS 350D nya juga. Jadilah acara melepas kangen itu terbagi dua antara aku dan kamera di Pangandaran.

Puas main jeprat jepret di pantai, jagoanku minta ke tengah laut untuk mengambil gambar taman laut. Aku carterkan satu perahu untuk memuaskan hasratnya. Dan saat itu ada sebuah permintaan dari jagoanku. "Yah, kameranya jangan dibawa, ya. Untuk Adi aja..."



Baru saja aku menganggukan kepala, ombak besar datang dan kamera di tangan mungilnya lepas. Walau tali kamera masih tergantung di leher, tetap saja kameranya masuk ke laut. Sesampainya di pantai, kamera aku bersihkan dan kelihatannya tidak bermasalah. Tapi beberapa waktu kemudian karat mulai muncul dan akhirnya ngadat.

Sedih juga setiap kali memikirkan itu. Kamera kesayangan rusak dan permintaan jagoanku tak bisa aku penuhi. Janjiku untuk memberikan kamera saku pengganti pun sampai saat ini belum terturuti, karena keburu diputuskan kembali komunikasiku oleh bundanya.

Dan ketika aku mulai nyidam kamera lagi. Ada seorang seniman yang memberiku hadiah lukisan. Sebelum aku bawa pulang, aku perbaiki dulu beberapa bagian yang sedikit cacat karena memang itu lukisan lama. Eh, malah keburu ada kolektor datang dan pengen beli lukisan itu. Karena hadiah, aku ga mau kasih. Kolektornya ngotot dan akhirnya aku pasrah saja ketika lukisan itu diganti uang 8 juta.

Begitu terima uang, pikiranku langsung melayang ke Canon EOS 500D. Pas banget segitu walau cuma dapat lensa standar 18-55 mm. Tapi karena lukisan itu hadiah, aku bilang dulu ke senimannya bahwa lukisannya ada yang beli. Silakan saja kalo mau diambil uangnya. Senimannya itu tak mau menerima karena katanya sudah menjadi hakku. Cuma penyampaiannya begini. "Itu punyamu kok, duitnya buat anakmu wae..."

Mau ga mau jadi pusing neh. Aku sendiri butuh kamera agar setiap pemotretan ga perlu pinjam kamera orang atau nyuruh fotografer. Tapi kok ijab qobulnya buat anakku. Tak belikan kamera untuk jagoanku juga ga mungkin nyampe, karena pasti dilarang bundanya. Lebih apes lagi malah dijual seperti hape yang beberapa kali aku kasih.

Kalo aku anggap ini rejeki anak yang masih dalam kandungan, trus aku pinjam dulu untuk beli kamera, aku takut ga bisa ngembalikan pada saat anakku lahir. Tar malah jadi dosa.

Huuh, dasar manusia. Ga punya duit pusing, punya duit lebih pusing lagi.
Kapan syukurnya yah..?



0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena