Kita memang seringkali melihat segala sesuatu hanya dari satu sisi. Seperti pembantu di kantor yang setelah lebaran kemarin keluar. Ternyata hanya karena tergiur gaji yang lebih tinggi di Jakarta sebagai pelayan toko tanpa mau tahu berapa biaya hidup hariannya. Hanya sebulan di sana trus pulang kampung dan bilang pengen kerja di galeri lagi.
Kebalikannya kemarin sore aku dikomplen teman yang tahun lalu tergiur kerja di Jogja hanya karena aku bilang biaya hidup di Jogja relatif rendah tanpa memperhatikan kata-kataku tentang standar gaji yang juga rendah.
Bicara tentang standar upah di Jogja yang hanya rp 700 ribu per bulan, mungkin erat kaitannya dengan peran Jogja sebagai kota pendidikan dan wisata. Dimana segala produk harus ditekan serendah mungkin harganya, sehingga mau tak mau pelaku usaha menekan biaya produksi termasuk upah karyawan. Padahal untuk sekelas angkringan saja Jogja sudah menyediakan hotspot gratisan. Coba di Jakarta, untuk restoran kelas mahal saja masih banyak yang harus bayar atau pakai prepaid.
Kadang aku pikir tak adil juga buat penduduk setempat. Mereka harus memangkas banyak keuntungan demi pelajar pendatang, yang setelah mereka pintar mereka akan meninggalkan Jogja dan menjadikannya hanya sebagai kenangan indah. Kepintaran mereka tak digunakan untuk kemajuan Jogjanya sendiri. Sementara pelaku usaha pendatang membuka berbagai usaha franchise atau mall dengan tarif standar nasional. Bahkan untuk tarif international untuk yang memegang merk tertentu.
Mungkin ada benarnya, sebagai kota tujuan wisata Jogja diharuskan mampu menekan harga barang konsumsi dan souvenir. Sehingga jumlah wisatawan tetap tinggi dan menganggap Jogja sebagai surga belanja. Tapi tetap saja sebagian besar keuntungan diambil oleh pengecer pendatang. Ini bisa dilihat di Malioboro yang pedagangnya malah banyak orang luar Jogja kalo dilihat dari dialek mereka berbicara. Orang Jogjanya sendiri lebih banyak menjadi pengrajin souvenir yang tak bisa menaikan harga.
Pernah aku coba ngobrol dengan pengrajin souvenir di daerah Bantul. Ternyata untuk souvenir yang di Maliboro ditawarkan dengan harga 20 - 40 ribu, harga di tingkat pengrajin hanya berkisar 7 - 10 ribu saja. Dan gaji buruh pengrajin harian rata-rata di kisaran 10 ribu per hari.
Aku tak bisa bicara tentang ini secara makro yang di luar jangkauan. Aku melihat dari lingkup sempit saja yang bisa ku temui setiap hari. Masih adakah di kota lain nasi seharga seribu perak atau ongkos becak muter Malioboro sampai Kraton, Pathuk atau Sarkem hanya dengan 3 ribu perak.
Aku harap ini bukan berawal dari budaya nrimo masyarakatnya sehingga pemerintah tak merasa bersalah melambatkan peningkatan kesejahteraan warga aslinya. Jangan sampai peran Sultan sebagai Gubernur bercampur dengan perannya sebagai Raja Jogja. Seperti yang aku lihat rakyat Jogja begitu patuh dengan dengan Sultan lebih berat kepada pemahaman itu sebagau titah raja daripada keputusan Gubernur. Walaupun aku melihat Sultan seringkali lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai raja. Misalnya ketika membangun pasar. Aku belum pernah dengar terjadinya penggusuran tanah warga. Tanah milik kraton lah yang dipergunakan. Padahal kalopun mereka digusur, aku yakin mereka akan patuh karena itu titah raja.
Sepertinya akan teramat sulit untuk membuat kota wisata yang murah dengan standar upah tinggi. Tapi bila melihat Singapura mungkin kita bisa belajar. Singapura menjadi tujuan wisata bukan karena menjual makanan murah, tapi menjual gengsi. Aku suka heran lukisan yang sama aku kesulitan jual di galeri, begitu aku lempar ke Singapura dengan harga tiga kali lipat bisa laku. Padahal pembelinya orang Jakarta juga. Begitu datang ke Jogja aku tanya kenapa, jawabnya, "rasanya beda mas kalo beli disana..."
Tapi kalo kemudian image Jogja sebagai kota murah berubah menjadi kota bergengsi dan penghasilan masyarakat meningkat, bagaimana dengan status kota yang bertarif pelajar..? Masalah lainnya adalah, apakah peningkatan penghasilan itu bisa didapatkan oleh masyarakat dan tidak jatuh ke tangan konglomerat atau pendatang bermodal..? Siapkah penduduk pribumi yang biasa nrimo dengan perubahan itu..?
Pusing juga mikirin negara yah..?
Mending mikir cari sampingan aja deh biar ga kepepet UMR rendah...
Kebalikannya kemarin sore aku dikomplen teman yang tahun lalu tergiur kerja di Jogja hanya karena aku bilang biaya hidup di Jogja relatif rendah tanpa memperhatikan kata-kataku tentang standar gaji yang juga rendah.
Bicara tentang standar upah di Jogja yang hanya rp 700 ribu per bulan, mungkin erat kaitannya dengan peran Jogja sebagai kota pendidikan dan wisata. Dimana segala produk harus ditekan serendah mungkin harganya, sehingga mau tak mau pelaku usaha menekan biaya produksi termasuk upah karyawan. Padahal untuk sekelas angkringan saja Jogja sudah menyediakan hotspot gratisan. Coba di Jakarta, untuk restoran kelas mahal saja masih banyak yang harus bayar atau pakai prepaid.
Kadang aku pikir tak adil juga buat penduduk setempat. Mereka harus memangkas banyak keuntungan demi pelajar pendatang, yang setelah mereka pintar mereka akan meninggalkan Jogja dan menjadikannya hanya sebagai kenangan indah. Kepintaran mereka tak digunakan untuk kemajuan Jogjanya sendiri. Sementara pelaku usaha pendatang membuka berbagai usaha franchise atau mall dengan tarif standar nasional. Bahkan untuk tarif international untuk yang memegang merk tertentu.
Mungkin ada benarnya, sebagai kota tujuan wisata Jogja diharuskan mampu menekan harga barang konsumsi dan souvenir. Sehingga jumlah wisatawan tetap tinggi dan menganggap Jogja sebagai surga belanja. Tapi tetap saja sebagian besar keuntungan diambil oleh pengecer pendatang. Ini bisa dilihat di Malioboro yang pedagangnya malah banyak orang luar Jogja kalo dilihat dari dialek mereka berbicara. Orang Jogjanya sendiri lebih banyak menjadi pengrajin souvenir yang tak bisa menaikan harga.
Pernah aku coba ngobrol dengan pengrajin souvenir di daerah Bantul. Ternyata untuk souvenir yang di Maliboro ditawarkan dengan harga 20 - 40 ribu, harga di tingkat pengrajin hanya berkisar 7 - 10 ribu saja. Dan gaji buruh pengrajin harian rata-rata di kisaran 10 ribu per hari.
Aku tak bisa bicara tentang ini secara makro yang di luar jangkauan. Aku melihat dari lingkup sempit saja yang bisa ku temui setiap hari. Masih adakah di kota lain nasi seharga seribu perak atau ongkos becak muter Malioboro sampai Kraton, Pathuk atau Sarkem hanya dengan 3 ribu perak.
Aku harap ini bukan berawal dari budaya nrimo masyarakatnya sehingga pemerintah tak merasa bersalah melambatkan peningkatan kesejahteraan warga aslinya. Jangan sampai peran Sultan sebagai Gubernur bercampur dengan perannya sebagai Raja Jogja. Seperti yang aku lihat rakyat Jogja begitu patuh dengan dengan Sultan lebih berat kepada pemahaman itu sebagau titah raja daripada keputusan Gubernur. Walaupun aku melihat Sultan seringkali lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai raja. Misalnya ketika membangun pasar. Aku belum pernah dengar terjadinya penggusuran tanah warga. Tanah milik kraton lah yang dipergunakan. Padahal kalopun mereka digusur, aku yakin mereka akan patuh karena itu titah raja.
Sepertinya akan teramat sulit untuk membuat kota wisata yang murah dengan standar upah tinggi. Tapi bila melihat Singapura mungkin kita bisa belajar. Singapura menjadi tujuan wisata bukan karena menjual makanan murah, tapi menjual gengsi. Aku suka heran lukisan yang sama aku kesulitan jual di galeri, begitu aku lempar ke Singapura dengan harga tiga kali lipat bisa laku. Padahal pembelinya orang Jakarta juga. Begitu datang ke Jogja aku tanya kenapa, jawabnya, "rasanya beda mas kalo beli disana..."
Tapi kalo kemudian image Jogja sebagai kota murah berubah menjadi kota bergengsi dan penghasilan masyarakat meningkat, bagaimana dengan status kota yang bertarif pelajar..? Masalah lainnya adalah, apakah peningkatan penghasilan itu bisa didapatkan oleh masyarakat dan tidak jatuh ke tangan konglomerat atau pendatang bermodal..? Siapkah penduduk pribumi yang biasa nrimo dengan perubahan itu..?
Pusing juga mikirin negara yah..?
Mending mikir cari sampingan aja deh biar ga kepepet UMR rendah...
sudah menjadi hukum alam mungkin ya mas kalo ada gula pasti ada semut..banyaknya pendatang ke yogya membuat para pebisnis melirik kota yogya sebagai target market yang sangat menarik ...alhasil makin maraknya sisi bisnis di yogya ketimbang pendidikan..toh sekarang pun pendidikan di yogya kebanyakan sudah bernuansa bisnis juga...
BalasHapusdan sepertinya perubahan memang sebuah konsekuensi yang tidak bisa terelakkan dan kalo jujur penduduk pribumi sudah mulai tergeser dari sisi perekonomian karena kebanyakan besar pemilik usaha dan properti di yogya justru adalah pendatang..Let's Think Out Of The Box:
Astaga.com Portal Lifestyle On The Net
yah begitulah adanya. kasihan saja penduduk pribumi yang sudah terbiasa dengan budaya nrimo malah ikutan menjadi obyek, bukannya subyek
BalasHapusJadi, semua salah pendatang? Sempit bgt pemikiranmu
BalasHapussebagian besar Iya memang salah pendatang yg bikin harga tanah rusak sgh sawah beralih fungsi.. sy sbg pribumi merasakan langsung susahnya jd PETANI di jogja
HapusIki dompet apa kopyah
BalasHapus