Pagi-pagi pas lagi di mini market, ketemu dengan penjual buah yang di depan galeri. Beliau komplen begini, "pantesan tidak pernah beli buah di tempatku lagi, seleranya supermarket.."
Aku agak tersentuh juga sebenarnya dengan hal-hal semacam ini. Kenapa aku harus belanja di tokonya orang yang sudah pasti banyak duit, bukannya di kaki lima yang mungkin pendapatannya pas-pasan. Kapan rakyat kecil bisa diberdayakan bila aku selalu begitu..?
Sebenarnya aku ingin juga selalu membantu mereka yang ngemper di trotoar. Tapi pelayanannya itu yang kadang membuat aku enggan. Walau tidak semua pedagang kaki lima begitu tapi aku pernah milih-milih buah yang bagus. Eh begitu nyampai dirumah kok jadi ada yang sedikit busuk. Belum lagi faktor kebersihan sekitar lapak dagangan yang kadang tidak mereka perhatikan.
Tak kurang-kurang aku menegur mereka tentang kebersihan. Bukannya sok doyan ngasih nasehat, tapi karena mereka jualan di depan galeri. Ga enak aja kalo pas ada tamu, lingkunganku kelihatan kotor. Padahal untuk listrik dan air mereka aku ijinkan ngambil dari galeri tanpa harus bayar. Tapi kalo dibilangin mereka bilang ya sekarang besok sudah lupa lagi.
Masalah lain, harganya yang lebih mahal dan harus tawar menawar itu lho yang kadang bikin bete. Kadang aku ga mempermasalahkan dikasih harga 20 ribu misalnya, padahal di mini market 19 ribu. Itung-itung nyumbang, pikirku. Eh, baru aja bayar, pembeli lain yang getol nawar dikasih harga 17 ribu di depan mata. Kan jadi berkurang tuh rasa ikhlasnya.
Sebenarnya kalo pelayanan dan kebersihannya oke, aku ga begitu mempermasalahkan harga kok. Cuma sepertinya susah banget menanamkan budaya itu di masyarakat kita. Bagaimana kita bisa melawan kapitalisme bila pelaku utamanya saja sudah begitu. Padahal bila melihat pengalaman mereka yang sukses, seharusnya semua bisa berkaca. Rasanya tidak sedikit pengusaha kuliner di Jogja yang bisa sampai membuka banyak cabang, padahal hanya diawali dengan angkringan kecil di pinggir jalan. Semoga mereka bisa deh...
Kembali ke obrolan pendek dengan tukang buah tadi. Tak enak menasehati orang di depan orang banyak, aku cuma jawab, "salah sendiri jualan duren, tahu aku ga doyan duren..."
Eh, masih bisa jawab juga, "Sekali-kali doyan tho, pak. Kan sudah ga ada yang bilang duren makan duren..."
Haseemmm...
Aku agak tersentuh juga sebenarnya dengan hal-hal semacam ini. Kenapa aku harus belanja di tokonya orang yang sudah pasti banyak duit, bukannya di kaki lima yang mungkin pendapatannya pas-pasan. Kapan rakyat kecil bisa diberdayakan bila aku selalu begitu..?
Sebenarnya aku ingin juga selalu membantu mereka yang ngemper di trotoar. Tapi pelayanannya itu yang kadang membuat aku enggan. Walau tidak semua pedagang kaki lima begitu tapi aku pernah milih-milih buah yang bagus. Eh begitu nyampai dirumah kok jadi ada yang sedikit busuk. Belum lagi faktor kebersihan sekitar lapak dagangan yang kadang tidak mereka perhatikan.
Tak kurang-kurang aku menegur mereka tentang kebersihan. Bukannya sok doyan ngasih nasehat, tapi karena mereka jualan di depan galeri. Ga enak aja kalo pas ada tamu, lingkunganku kelihatan kotor. Padahal untuk listrik dan air mereka aku ijinkan ngambil dari galeri tanpa harus bayar. Tapi kalo dibilangin mereka bilang ya sekarang besok sudah lupa lagi.
Masalah lain, harganya yang lebih mahal dan harus tawar menawar itu lho yang kadang bikin bete. Kadang aku ga mempermasalahkan dikasih harga 20 ribu misalnya, padahal di mini market 19 ribu. Itung-itung nyumbang, pikirku. Eh, baru aja bayar, pembeli lain yang getol nawar dikasih harga 17 ribu di depan mata. Kan jadi berkurang tuh rasa ikhlasnya.
Sebenarnya kalo pelayanan dan kebersihannya oke, aku ga begitu mempermasalahkan harga kok. Cuma sepertinya susah banget menanamkan budaya itu di masyarakat kita. Bagaimana kita bisa melawan kapitalisme bila pelaku utamanya saja sudah begitu. Padahal bila melihat pengalaman mereka yang sukses, seharusnya semua bisa berkaca. Rasanya tidak sedikit pengusaha kuliner di Jogja yang bisa sampai membuka banyak cabang, padahal hanya diawali dengan angkringan kecil di pinggir jalan. Semoga mereka bisa deh...
Kembali ke obrolan pendek dengan tukang buah tadi. Tak enak menasehati orang di depan orang banyak, aku cuma jawab, "salah sendiri jualan duren, tahu aku ga doyan duren..."
Eh, masih bisa jawab juga, "Sekali-kali doyan tho, pak. Kan sudah ga ada yang bilang duren makan duren..."
Haseemmm...
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih