Seorang teman
Beberapa tahun lalu mengeluh dengan kehidupannya, yang menurut dia di bawah standar kelayakan. Tergiur beberapa teman yang kelihatan sukses mencari penghidupan di negara tetangga, temanku itu berusaha keras untuk bisa ikut mengadu nasib ke luar negeri.
Dengan segala susah payahnya, dari mulai tertipu sponsor sampai berbulan-bulan tinggal di penampungan yang kurang manusiawi dia jalani sampai akhirnya dia bisa terbang juga. Sepotong pesan pendek mampir ke hapeku menyiratkan kebanggaannya bisa tercapai apa yang dicita-citakan.
Belum genap dua bulan, temanku itu kembali singgah di telponku. Dia mengeluh tentang pekerjaannya yang bagai romusha padahal gaji tidak diterima penuh selama setahun pertama. Dan dia bercerita tentang teman baru yang menjanjikan pekerjaan baru yang lebih oke kalo dia mau kabur dari majikannya.
Tak lama kemudian angan-angan indah itu berubah lagi. Teman baru yang mengajaknya menjadi warga gelap di negeri orang itu malah menjerumuskan dia ke tempat yang lebih gelap walau gemerlap dan banyak uang mudah. Dan akhirnya temanku itu lontang-lantung dalam pelarian dari rumah teman ke teman lainnya hanya untuk berlindung.
Bertahun-tahun tiada kabar berita, sebulan lalu telponku berbunyi lagi. Ternyata teman lamaku itu akhirnya menemukan majikan yang baik dan memenuhi harapan-harapan dia sejak dulu. Aku pun ikut bersyukur dengan kesuksesan itu. Namun di akhir ceritanya, dia malah mengeluh tentang kerinduannya kepada keluarga dan tanah airnya. Dan keinginan untuk pulang kampung itu menjadi sulit mengingat statusnya sebagai tenaga kerja ilegal.
Mungkin angin baik sedang bertiup. Tak lama kemudian dia cerita ada agen yang bisa mengusahakan paspor dan mengurus kepulangannya ke Indonesia. SMS selanjutnya, menyatakan segala urusan hampir beres dan minggu ini bisa pulang.
Dan pagi tadi, dia SMS lagi. Dia harus menghadap ke kantor imigrasi dan kepolisian setempat. Katanya sih untuk tanda tangan berkas-berkas keimigrasian saja. Tapi agak siangan sedikit, mampir lagi sebuah SMS, "Mas, aku disel..."
Halah...
Sampai sekarang, SMS balasan yang aku kirimkan masih saja berstatus pending. Semoga cuma bergurau saja dan dia bisa secepatnya pulang. Kalo sampai benar ditahan, kasihan amat tuh anak. Biarpun dia mau nelpon atau SMS kalo pas lagi susah doang. Hehehe...
Kalo sudah begini, siapa yang salah..?
Majikan yang kurang manusiawi, temanku yang nekat kabur, agen yang suka menipu orang susah, atau pemerintah kita yang tak mampu memberikan penghidupan yang layak buat warganya..?
Ilustrasi "Looser"
Karya Nurjoko
Tujuh Bintang Art Space
Beberapa tahun lalu mengeluh dengan kehidupannya, yang menurut dia di bawah standar kelayakan. Tergiur beberapa teman yang kelihatan sukses mencari penghidupan di negara tetangga, temanku itu berusaha keras untuk bisa ikut mengadu nasib ke luar negeri.
Dengan segala susah payahnya, dari mulai tertipu sponsor sampai berbulan-bulan tinggal di penampungan yang kurang manusiawi dia jalani sampai akhirnya dia bisa terbang juga. Sepotong pesan pendek mampir ke hapeku menyiratkan kebanggaannya bisa tercapai apa yang dicita-citakan.
Belum genap dua bulan, temanku itu kembali singgah di telponku. Dia mengeluh tentang pekerjaannya yang bagai romusha padahal gaji tidak diterima penuh selama setahun pertama. Dan dia bercerita tentang teman baru yang menjanjikan pekerjaan baru yang lebih oke kalo dia mau kabur dari majikannya.
Tak lama kemudian angan-angan indah itu berubah lagi. Teman baru yang mengajaknya menjadi warga gelap di negeri orang itu malah menjerumuskan dia ke tempat yang lebih gelap walau gemerlap dan banyak uang mudah. Dan akhirnya temanku itu lontang-lantung dalam pelarian dari rumah teman ke teman lainnya hanya untuk berlindung.
Bertahun-tahun tiada kabar berita, sebulan lalu telponku berbunyi lagi. Ternyata teman lamaku itu akhirnya menemukan majikan yang baik dan memenuhi harapan-harapan dia sejak dulu. Aku pun ikut bersyukur dengan kesuksesan itu. Namun di akhir ceritanya, dia malah mengeluh tentang kerinduannya kepada keluarga dan tanah airnya. Dan keinginan untuk pulang kampung itu menjadi sulit mengingat statusnya sebagai tenaga kerja ilegal.
Mungkin angin baik sedang bertiup. Tak lama kemudian dia cerita ada agen yang bisa mengusahakan paspor dan mengurus kepulangannya ke Indonesia. SMS selanjutnya, menyatakan segala urusan hampir beres dan minggu ini bisa pulang.
Dan pagi tadi, dia SMS lagi. Dia harus menghadap ke kantor imigrasi dan kepolisian setempat. Katanya sih untuk tanda tangan berkas-berkas keimigrasian saja. Tapi agak siangan sedikit, mampir lagi sebuah SMS, "Mas, aku disel..."
Halah...
Sampai sekarang, SMS balasan yang aku kirimkan masih saja berstatus pending. Semoga cuma bergurau saja dan dia bisa secepatnya pulang. Kalo sampai benar ditahan, kasihan amat tuh anak. Biarpun dia mau nelpon atau SMS kalo pas lagi susah doang. Hehehe...
Kalo sudah begini, siapa yang salah..?
Majikan yang kurang manusiawi, temanku yang nekat kabur, agen yang suka menipu orang susah, atau pemerintah kita yang tak mampu memberikan penghidupan yang layak buat warganya..?
Ilustrasi "Looser"
Karya Nurjoko
Tujuh Bintang Art Space