Mengamati kehidupan pedagang buah di depan galeri. Sedikit banyak aku bisa menilai tulang punggung ekonomi keluarga ada di tangan sang istri. Sedangkan si suami hanya sekedar membantu membuka dasaran lalu diam menanti kerjaan serabutan yang bisa dia kerjakan dan sering nganggur daripada kerja. Tapi kulihat ada kedamaian di keluarga itu. Istri dan anak-anaknya tetap "basa" ketika bicara dengan si bapak penganggur itu.
Kasus yang sama ketika aku ngobrol dengan istri orang yang beberapa hari terakhir aku mintai bantuan untuk nyupir di galeri. Tak tampak adanya rasa penyesalan dengan suami yang tak tentu penghasilannya. Dia pun tak mengeluh harus ikut banting tulang menopang keuangan keluarga.
Semua itu membuatku ingat teman-teman sekantorku di Bandung dulu ketika aku masih gabung di BUMN Telekomunikasi. Bagaimana teman-teman perempuanku yang notabene gaji jauh di atas UMR tapi sering berceloteh tentang suami-suami mereka. Apalagi yang gaji suami berada di bawah mereka, umpatan pedas tak sulit untuk mereka keluarkan di depan banyak orang.
Mereka yang begitu bangga dengan titel wanita karir pun memiliki gaya hidup yang begitu indah. Berangkat pagi pulang malam, itupun masih menyempatkan diri ngumpul dengan alasan arisan atau sekedar melepas lelah di karaoke.
Kalo aku tanya, seolah mereka menganggap rumah tangga hanya sebuah formalitas untuk membuat anak dan setelah itu dibebankan kepada pembantu. Ketika suami istri mempunyai pola hidup yang sama, ritual dalam rumah tangga pun sepertinya sudah bukan kebutuhan lagi.
Kebutuhan biologis cukup diperoleh selepas makan siang entah dengan siapa. Memuakan sekali aku melihat tampang cengar-cengir mereka selepas istirahat siang. Apalagi bila mendapat pengalaman baru dan digunjingkan secara terbuka dengan sesama penganut sex after lunch di kantor.
Apa sih yang mereka cari sebenarnya..?
Benarkah kepuasan sesaat bisa mengalahkan kebahagiaan hakiki..?
Buatku...
penjual buah itulah wanita karir yang sesungguhnya. Tanpa keluh kesah keringatnya terperas untuk keluarga. Sedangkan teman-temanku dulu tak lebih dari sampah. Yang selalu mengeluh dan mendesah asalkan berkeringat.
Bagaimana nasib anak-anak manusia itu..?
Bangsat...
Ilustrasi :
Rejuvenate karya Wahyu Geiyonk
Kasus yang sama ketika aku ngobrol dengan istri orang yang beberapa hari terakhir aku mintai bantuan untuk nyupir di galeri. Tak tampak adanya rasa penyesalan dengan suami yang tak tentu penghasilannya. Dia pun tak mengeluh harus ikut banting tulang menopang keuangan keluarga.
Semua itu membuatku ingat teman-teman sekantorku di Bandung dulu ketika aku masih gabung di BUMN Telekomunikasi. Bagaimana teman-teman perempuanku yang notabene gaji jauh di atas UMR tapi sering berceloteh tentang suami-suami mereka. Apalagi yang gaji suami berada di bawah mereka, umpatan pedas tak sulit untuk mereka keluarkan di depan banyak orang.
Mereka yang begitu bangga dengan titel wanita karir pun memiliki gaya hidup yang begitu indah. Berangkat pagi pulang malam, itupun masih menyempatkan diri ngumpul dengan alasan arisan atau sekedar melepas lelah di karaoke.
Kalo aku tanya, seolah mereka menganggap rumah tangga hanya sebuah formalitas untuk membuat anak dan setelah itu dibebankan kepada pembantu. Ketika suami istri mempunyai pola hidup yang sama, ritual dalam rumah tangga pun sepertinya sudah bukan kebutuhan lagi.
Kebutuhan biologis cukup diperoleh selepas makan siang entah dengan siapa. Memuakan sekali aku melihat tampang cengar-cengir mereka selepas istirahat siang. Apalagi bila mendapat pengalaman baru dan digunjingkan secara terbuka dengan sesama penganut sex after lunch di kantor.
Apa sih yang mereka cari sebenarnya..?
Benarkah kepuasan sesaat bisa mengalahkan kebahagiaan hakiki..?
Buatku...
penjual buah itulah wanita karir yang sesungguhnya. Tanpa keluh kesah keringatnya terperas untuk keluarga. Sedangkan teman-temanku dulu tak lebih dari sampah. Yang selalu mengeluh dan mendesah asalkan berkeringat.
Bagaimana nasib anak-anak manusia itu..?
Bangsat...
Ilustrasi :
Rejuvenate karya Wahyu Geiyonk
dunia kita sekarang sedang menuju kosmopolitanisasi yang merusak.konsep wanita karir di seberang sana dijiplak murah-murah tanpa pikir panjang.saya setuju para penjual buah itulah yang seharusnya disebut wanita karir.
BalasHapussaya lebih setuju dengan bapa karir
BalasHapuspurezentos
sekedar opini yang menuai kontroversi.
BalasHapushahaha...