Menjelang ke Surabaya kemarin, aku sempat berbagi pesan melalui twitter dengan seorang teman yang sudah kenal lama banget tapi tak pernah sekalipun ketemu darat. Temanku bertanya, "mau mampir ke rumah apa engga..?"
Aku balik bertanya, "Memang suamimu sudah ga cemburuan lagi..?"
"Ya masih lah..."
"Payah.. masa selamanya hidup dalam penjara. Makanya kamu jangan sok cemburuan yow."
Dia malah tertawa. Tapi di mataku, temanku dan suaminya merupakan pasangan yang ideal dan klop. Sama-sama pencemburu dan kuat sekali menjaga pasangannya. Kecocokan itu menurutku modal yang kuat untuk bertahan dalam menghadapi hempasan kehidupan yang seringkali teramat berat.
Aku balik bertanya, "Memang suamimu sudah ga cemburuan lagi..?"
"Ya masih lah..."
"Payah.. masa selamanya hidup dalam penjara. Makanya kamu jangan sok cemburuan yow."
Dia malah tertawa. Tapi di mataku, temanku dan suaminya merupakan pasangan yang ideal dan klop. Sama-sama pencemburu dan kuat sekali menjaga pasangannya. Kecocokan itu menurutku modal yang kuat untuk bertahan dalam menghadapi hempasan kehidupan yang seringkali teramat berat.
Aku juga bisa mengerti ketika temanku itu menuliskan sesuatu yang bertolak belakang tentang cemburu itu di blognya :
Aku bukannya tidak tahu bahwa kalau kita terlalu mengekang orang yang kita sayang dan cintai, dia justru akan merasa risih, jengah, dan tertekan, lalu akhirnya perasaan cintanya kepada kita akan memudar. Aku sangat tahu itu. Aku bahkan tahu perumpamaan seperti itu diibaratkan "pasir dalam genggaman tangan". Apabila tangan kita terlalu erat menggenggam pasir, maka pasir itu sedikit demi sedikit akan tumpah dan akhirnya habis sama sekali. Dan, aku tidak ingin perasaan orang yang aku sayang dan cintai padaku habis sama sekali seperti pasir itu.
Manusia memang makhluk yang kadang teramat aneh. Satu sisi dia menginginkan kebebasan, tapi di lain sisi dia ingin mengekang orang lain. Padahal itu sangat susah untuk bisa dilakukan dalam waktu yang bersamaan, karena manusia cenderung bersifat pendendam. Ketika dia dikekang, diapun ingin balas mengekang.
Tapi aku tak bisa mengatakan ini benar atau salah. Karena kebenaran hakiki itu tidak ada. Setiap manusia punya ukuran masing-masing yang pasti berbeda tiap orangnya. Temanku itu bisa hidup damai dalam penjara hatinya itu. Tapi tidak untuk aku yang terbiasa hidup bebas. Dan aku yakin dengan sebaliknya. Temanku itu tak akan mungkin bisa hidup dalam kebebasan seperti yang aku lakukan dalam keluargaku.
Aku tak pernah mengekang istriku, karena aku juga tak bisa hidup dalam kekangan. Makanya aku sudah membuat komitmen sejak awal membangun rumah tangga. Ada tiga kepentingan disitu. Kepentinganku, istriku dan kepentingan rumah tangga. Kepentingan dan privasi istriku aku tak mau tahu, sejauh tidak mengganggu kepentinganku dan kepentingan bersama. Begitu juga sebaliknya. Kepentingan bersama tetap menjadi prioritas nomor satu ketika ketiganya saling bergesekan.
Contoh sepelenya adalah soal merokok. Aku suka dan istriku ga suka. Makanya aku merokok hanya ketika di luar. Dan begitu sampai di rumah, rokok tak pernah aku bawa. Karena aku tak mau istriku mencium asbak. Makanya ketika liburan atau pulang kampung, selama itu pula aku bebas asap.
Aku juga tak pernah mau buka-buka hape istriku untuk sekedar melihat log telepon atau sms-smsnya. Paling-paling cuma ngecek pulsanya masih ada apa engga.Begitu sebaliknya, istriku tak pernah mau membuka atau mengangkat telepon di hapeku walau berbunyi terus menerus. Kecuali aku sudah bilang tolong diangkatin, baru dia mau.
Ketika aku berada di kantor, istriku tak pernah mau mengganggu selama tidak ada urusan yang teramat penting. Aku baru menjadi miliknya seutuhnya setelah berada kembali di rumah. Akupun sama. Istriku pergi kemana, jalan dengan siapa aku tak pernah bertanya-tanya apalagi sampai sewa mata-mata.
Apakah dengan kebebasan seperti itu, peluang selingkuh jadi terbuka lebar..? Nyatanya tidak. Karena aku tahu istriku percaya kepadaku, aku jadi begitu ingin terus menjaga kepercayaannya. Aku tak pernah menghapus sms di hape, bukan karena aku yakin istriku tak akan buka. Melainkan karena aku selalu ingin menunjukan ke istri bila ada sms yang aneh-aneh. Aku pun selalu saling bercerita tentang apa yang ditemukan sepanjang hari, termasuk yang paling tidak enak sekalipun. Walau jujur itu kadang menyakitkan, tapi niatku bukan untuk menyakitinya. Melainkan aku ingin istriku tahu cerita yang tidak enak dari mulutku sendiri dan bukan gosip orang lain. Jangankan cuma makan dengan client yang seksi, habis dicium seperti kemarin pun aku cerita ke istri.
Aku bangga dengan istriku. Dia pernah bilang tentang pekerjaanku yang di kelilingi perempuan-perempuan indah. Tentang teman-teman mayaku yang begitu banyak. Menurutnya, tak mungkin dia bisa memaksa begitu banyak orang untuk tidak berbuat aneh-aneh. Jadi cukup aku saja yang dijaga hatinya agar tak berpaling. Dan menjagaku katanya tak begitu sulit. Cukup diberi kebebasan dan tak perlu diawasi setiap waktu.
Oleh karena itu, setiap waktu aku bisa berbuat apa saja sesuai keinginanku. Sepanjang tidak merampas apa yang menjadi hak dia sebagai istri dan tidak mengganggu keutuhan rumah tanggaku. Jadi bukan berarti aku bisa seperti salah seorang temanku di kampung dulu. Yang mengartikan kebebasan sebagai hak untuk berbuat apa saja, asalkan setelah itu kembali ke rumah. Atau menurut peribahasanya, "biarlah isinya berceceran, asal botolnya kembali utuh..."
Ai lap yu puuuul, ayangku...
jadi kangen ama istri pas baca ini :)
BalasHapusIyah...
BalasHapusaku juga lagi kangen neh...
salut deh sama istrimu..
BalasHapusaku dulu juga sempat melakukan hal yang sama, tapi nyatanya aku dikhianati dan kepercayaanku disalahgunakan..
Hahaha
BalasHapusPaling kamunya yang ngeduluin.
Sama si ebeg yah..?
heh, ngawur!
BalasHapusdasar si ebeg-nya aja yang keganjenan.. :p
kirain si ebeg ngilang tuh digondol kamu...
BalasHapushihihi...