Ada satu hal yang selalu membuat aku bahagia ketika main ke pondok pesantren. Aku bisa menemukan kembali sebuah keindahan yang dalam kehidupan sehari-hariku sudah terasa hambar dan sangat biasa. Sesuatu yang aku anggap sepele, buat mereka seringkali merupakan hal yang luar biasa.
Seperti di Paiton kemarin. Mereka punya kebiasaan menanam tembakau disela-sela tanam padi untuk kemudian diolah lalu dilinting sendiri memenuhi kebutuhan rokok mereka. Makanya ketika aku letakan sebungkus 234 di meja, tak perlu waktu lama untuk merubahnya menjadi bungkus kosong. Aku bisa melihat binar yang berbeda di mata mereka, juga sorot mata kecewa untuk santri yang tidak kebagian. Sampai akhirnya aku belikan mereka 5 bungkus untuk rame-rame.
Kebiasaan mereka makan dengan ala kadarnya juga membuatku ingin mengajak mereka untuk makan yang sedikit berbeda. Betapa bahagianya aku melihat mereka makan sate dengan lahap sampai aku ikut terbawa selera untuk makanan yang selama ini aku rasakan biasa.
Dan seperti biasa, setelah hati mereka terbujuk olehku, mulailah aku menyerap pelajaran kehidupan dari mereka. Mereka pun sudah tak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan segala isi hati yang bisa aku jadikan bahan pembelajaran pribadi.
Kebanyakan mereka menjadi santri, karena memang terlilit masalah kekurangmampuan secara ekonomi. Mereka tak mampu untuk masuk ke sekolah formal yang mengharuskan mereka mengeluarkan dana. Pemahaman masalah agama yang mendalam membuat mereka mampu bertahan hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka begitu narimo ing pandhum.
Tapi ada satu sisi negatif yang aku lihat dari kehidupan semacam itu. Tersirat dari obrolanku dengan santri yang sudah cukup berumur dan katanya sudah menikah.
"Sudah berapa tahun jadi santri, mas..?"
"Sejak kecil..."
"Sekarang masih nyantri, lalu istri bagaimana..?"
"Ya ikut disini. Soalnya yang memilihkan istri juga pak kyai."
"Kenapa ga ingin misah, punya rumah sendiri..?"
"Ga punya uang, mas. Kalo disini kan bisa tinggal di pesantren. Bisa bantu-bantu di sawah pak kyai. Makan juga dikasih..."
"Tidak ingin merantau..?"
"Tidak, mas. Sudah cukup disini saja..."
Menerima segala kenyataan kehidupan memang bagus. Tapi bila tidak mengenal batas semacam itu, aku pikir jadi kabur juga. Orang jadi tak punya mimpi-mimpi tentang kehidupan yang lebih baik. Aku sampai membayangkan bila suatu saat punya anak. Aku rasa nasibnya tak akan jauh dari kehidupan orang tuanya. Hidup dalam belas kasihan orang lain dan tak ada keinginan untuk mandiri.
Walau hidup disana serba gratis, tapi tidak sepenuhnya. Karena mereka tetap kerja juga di sawah milik pondok untuk menghidupi santri-santrinya. Tapi kebiasaan bekerja keras tanpa ditunjang keinginan untuk maju, ya selamanya akan seperti itu.
Fanatisme yang berlebihan juga menurutku kurang mendidik juga. Mereka selalu berpikir apa yang diberikan pak kyai adalah barokah yang tak boleh disia-siakan. Makanya aku sedikit kelimpungan juga ketika harus makan dengan gaya mereka. Setelah makan, masing-masing dapat kue bolu kukus ukuran jumbo 4 biji. Mereka yang selalu berpikir tentang barokah, dengan mudah menghabiskan semuanya. Sedangkan aku yang bertangki pas-pasan, makan sebiji saja cacing perutku sudah tak mampu bekerja lagi.
Makanya pusing juga ketika pengurus pondok menyuruhku menghabiskan keempat kue itu. "Harus dihabiskan, mas. Barokah dari pak kyai. Dosa kalo tidak habis..."
Akhirnya aku tengak tengok cari musuh. Begitu ada kesempatan, kue sisanya aku masukan ke tas kresek dan aku lempar ke meja dapur yang kebetulan tidak ada orang. Tapi aku tinggal ke kamar mandi sebentar, aku lihat kresek tadi sudah kosong.
Benar-benar sesuatu yang luar biasa buat mereka. Dan aku tetaplah menjadi pendosa yang menyia-nyiakan barokah...
Seperti di Paiton kemarin. Mereka punya kebiasaan menanam tembakau disela-sela tanam padi untuk kemudian diolah lalu dilinting sendiri memenuhi kebutuhan rokok mereka. Makanya ketika aku letakan sebungkus 234 di meja, tak perlu waktu lama untuk merubahnya menjadi bungkus kosong. Aku bisa melihat binar yang berbeda di mata mereka, juga sorot mata kecewa untuk santri yang tidak kebagian. Sampai akhirnya aku belikan mereka 5 bungkus untuk rame-rame.
Kebiasaan mereka makan dengan ala kadarnya juga membuatku ingin mengajak mereka untuk makan yang sedikit berbeda. Betapa bahagianya aku melihat mereka makan sate dengan lahap sampai aku ikut terbawa selera untuk makanan yang selama ini aku rasakan biasa.
Dan seperti biasa, setelah hati mereka terbujuk olehku, mulailah aku menyerap pelajaran kehidupan dari mereka. Mereka pun sudah tak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan segala isi hati yang bisa aku jadikan bahan pembelajaran pribadi.
Kebanyakan mereka menjadi santri, karena memang terlilit masalah kekurangmampuan secara ekonomi. Mereka tak mampu untuk masuk ke sekolah formal yang mengharuskan mereka mengeluarkan dana. Pemahaman masalah agama yang mendalam membuat mereka mampu bertahan hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka begitu narimo ing pandhum.
Tapi ada satu sisi negatif yang aku lihat dari kehidupan semacam itu. Tersirat dari obrolanku dengan santri yang sudah cukup berumur dan katanya sudah menikah.
"Sudah berapa tahun jadi santri, mas..?"
"Sejak kecil..."
"Sekarang masih nyantri, lalu istri bagaimana..?"
"Ya ikut disini. Soalnya yang memilihkan istri juga pak kyai."
"Kenapa ga ingin misah, punya rumah sendiri..?"
"Ga punya uang, mas. Kalo disini kan bisa tinggal di pesantren. Bisa bantu-bantu di sawah pak kyai. Makan juga dikasih..."
"Tidak ingin merantau..?"
"Tidak, mas. Sudah cukup disini saja..."
Menerima segala kenyataan kehidupan memang bagus. Tapi bila tidak mengenal batas semacam itu, aku pikir jadi kabur juga. Orang jadi tak punya mimpi-mimpi tentang kehidupan yang lebih baik. Aku sampai membayangkan bila suatu saat punya anak. Aku rasa nasibnya tak akan jauh dari kehidupan orang tuanya. Hidup dalam belas kasihan orang lain dan tak ada keinginan untuk mandiri.
Walau hidup disana serba gratis, tapi tidak sepenuhnya. Karena mereka tetap kerja juga di sawah milik pondok untuk menghidupi santri-santrinya. Tapi kebiasaan bekerja keras tanpa ditunjang keinginan untuk maju, ya selamanya akan seperti itu.
Fanatisme yang berlebihan juga menurutku kurang mendidik juga. Mereka selalu berpikir apa yang diberikan pak kyai adalah barokah yang tak boleh disia-siakan. Makanya aku sedikit kelimpungan juga ketika harus makan dengan gaya mereka. Setelah makan, masing-masing dapat kue bolu kukus ukuran jumbo 4 biji. Mereka yang selalu berpikir tentang barokah, dengan mudah menghabiskan semuanya. Sedangkan aku yang bertangki pas-pasan, makan sebiji saja cacing perutku sudah tak mampu bekerja lagi.
Makanya pusing juga ketika pengurus pondok menyuruhku menghabiskan keempat kue itu. "Harus dihabiskan, mas. Barokah dari pak kyai. Dosa kalo tidak habis..."
Akhirnya aku tengak tengok cari musuh. Begitu ada kesempatan, kue sisanya aku masukan ke tas kresek dan aku lempar ke meja dapur yang kebetulan tidak ada orang. Tapi aku tinggal ke kamar mandi sebentar, aku lihat kresek tadi sudah kosong.
Benar-benar sesuatu yang luar biasa buat mereka. Dan aku tetaplah menjadi pendosa yang menyia-nyiakan barokah...
wakz
BalasHapussusah juga ya, ummm...
mungkin karena udah kebacut jadi kebiasaan juga kali ya?
trus kalo soal nerima dan gak punya mimpi, iya juga tuh, gak bae juga kayak gitu ya..
jadinya seperti katak dalam kotak, cuma bisa lompat setinggi kotak itu, gak bisa lompat lebih tinggi dan gak tau kehidupan di luar kotak.
wallahualam..
susah memang menilai mana yang baik dan buruk, karena cara pandang kita memang berbeda-beda. makanya suka sebel kalo ada yang mulai memaksakan kebenaran kepada orang lain.
BalasHapushehehe