02 Mei 2010

Potret Usang Oemar Bakery

Jadi guru jujur berbakti memang makan ati...

Kutipan lagu lama dari bang Iwan inilah yang mungkin turut mempengaruhi pikiran orang tuaku dulu. Walau keduanya sama-sama berprofesi guru, tapi tidak pernah sekalipun mendorong anak-anaknya untuk mengikuti jejak mereka.

Akronim guru sebagai digugu lan ditiru (diikuti ucapannya dan ditiru perbuatannya) berbanding terbalik dengan tingkat jaminan kesejahteraan yang diterima dari pemerintah. Keharusan menjadi tauladan di masyarakat juga membuatnya harus pasrah narimo ing pandhum. Meributkan masalah gaji seolah bukan hal yang pantas dilakukan oleh abdi negara bidang pendidikan itu.

Aku sebagai anak guru sedikit banyak ikut terbebani dengan kenyataan itu. Aku harus selalu berbuat baik tanpa harus menuntut bintang kehormatan. Segala kebaikan itu hanya dihargai dengan kata “ya wajar, wong anak guru...” Sebaliknya ketika aku melakukan kesalahan walau sekecil zarah, masyarakat akan begitu keras mencela, “anak guru kok kaya gitu..”

Saat itu, seorang guru dianggap sebagai malaikat pembawa firman Tuhan. Seorang anak yang berani melawan orang tua bisa berubah menurut ketika guru yang menasehati. Konflik rumah tangga atau lingkungan pun biasanya diselesaikan di hadapan seorang guru.

Di mata masyarakat guru dianggap sebagai ahli yang serba mau dan mampu. Apalagi ketika menyangkut pekerjaan yang bersifat sosial tanpa bayaran. Guru menjadi tulang punggung kegiatan di lingkungan. Jangan berharap bisa dijadikan lahan untuk menambah penghasilan, masih bisa nombok juga sudah termasuk untung sekali.

Dan sayangnya semua jerih payah itu selalu berakhir hanya pada sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah penghargaan yang sangat tinggi memang. Tapi sebagai manusia biasa, apakah keinginan untuk hidup lebih baik dianggap tercela. Tak heran bila sepulang dari sekolah, ada guru yang beralih profesi menjadi tukang ojek atau jualan roti agar bisa bertahan hidup.

Kewajiban mencetak dokter dan profesor tidak diimbangi asupan gizi yang memadai. Beras jatah berbau apek dan berkutu menjadi satu-satunya amunisi sehari-hari. Seolah-olah para pejabat yang berwenang mengatur gaji lupa, bahwa mereka bisa menjadi menteri juga berkat jasa seorang guru juga.

Sebuah kenyataan yang satir di negeri yang sangat mereka cintai. Perasan otak mereka mengajarkan budi pekerti hanya membuahkan manusia-manusia yang tak berbudi. Mereka hanya memiliki kewajiban membuat orang menjadi pintar saja. Tapi yang kemudian dipakai oleh negara ini hanya orang pintar membodohi masyarakat termasuk gurunya sendiri.

Orang yang mau mengabdi dengan kepintarannya hanya akan disanjung dengan istilah kaya hati dan tak akan diberi kesempatan untuk kaya secara materi. Yang memaksakan diri justru akan disisihkan hingga melarikan diri demi sesuap nasi seperti Habibie.

Tapi itu dulu. Saat ini, pemerintah sepertinya mulai belajar peduli dengan mewajibkan anggaran pendidikan 20% dari total APBN. Termasuk untuk perbaikan kesejahteraan guru walau dengan sebuah konsekuensi. Agar bisa naik gaji, mereka harus sekolah lagi dengan biaya yang sangat tinggi. Sehingga di hitungan di atas kertas, tetap saja kesejahteraan mereka belum sepenuhnya tercukupi.

Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini oknum-oknum pejabat pendidikan juga mulai meracuni otak guru dengan pandangan materialistis. Dana BOS yang katanya untuk membantu pendidikan seringkali penggunaannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada otoritas sekolah dan komite. Sebagian dananya diserahkan kepada sekolah dalam bentuk barang pendukung proses belajar mengajar yang harganya sudah dilambungkan oleh yang berwenang.

Kesenjangan sosial itu setidaknya ikut merusak moral guru jaman sekarang. Otak bisnis para pejabat sedikit demi sedikit merasuk ke pikiran guru. Tak heran bila mereka mulai mencari-cari peluang di lingkungan sekolah. Guru belajar jualan buku pelajaran aku kira masih wajar. Tapi bila diembel-embeli pemaksaan setiap murid wajib membeli buku darinya, itu sudah mulai kurang ajar. Tidak ada lagi buku pelajaran yang dulu cukup pinjam dari perpustakaan sekolah atau buku warisan kakak kelasnya.

Beban berat orang tua murid setiap tahun harus membeli buku pelajaran baru sepertinya lenyap ditelan bayangan atas keuntungan yang akan diraihnya. Tapi tidak sepenuhnya mereka bisa disalahkan. Kecilnya kemauan pemerintah memperhatikan nasib merekalah awal dari segala efek domino itu.

Guru sekarang pun sudah mulai berani bersuara. Demo dan protes menuntut perbaikan kesejahteraan sudah bukan hal aneh lagi. Beban moral menjadi tauladan pun sepertinya semakin luntur dalam benak guru. Sampai-sampai ranah tabu seperti pelecehan seksual pun mulai berani mereka jamah. Aku jadi ingat pepatah lama yang mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari.” Melihat guru mulai anarkis, belajar bisnis dan turun ke jalan, murid-murid merasa memiliki pembenaran untuk melakukan hal yang sama dengan kadar yang lebih tinggi.

Tawuran, narkoba, seks bebas dan hal semacamnya menjadi semacam potret buram dunia pendidikan kita saat ini. Dan sayangnya pemerintah kita masih saja ogah-ogahan mengurai benang kusut itu sebelum potretnya semakin buram.

Sebagai orang yang pernah mengalami hidup di dua era dunia pendidikan – ketika guru masih digugu lan ditiru dan ketika berubah menjadi wagu lan saru – mau tidak mau aku merasa prihatin. Aku ingin guru yang sejahtera hidupnya, tapi tetap menjadi panutan seperti guruku jaman dulu.

Aku tetap merindukan Oemar Bakri yang 40 tahun jujur mengabdi tapi tidak lagi naik sepeda kumbang melainkan mobil Jepang. Tak mau dengar lagi guru yang nyambi jualan roti. Nanti malah membuat Iwan Fals mengganti judul lagunya menjadi Oemar Bakery...

Semoga...

12 comments:

  1. barang antik sekarang tuh bang,,, mayan bisa bt beli produk jepang ampe 2 biji tuh...

    BalasHapus
  2. walah2 indonesia ku...

    salam kenal

    BalasHapus
  3. kayaknya saudara cocock deh jadi umar bakri abad modern he....he...... slamet ye....

    BalasHapus
  4. dicari tipe umar bakry dizaman modern, tuk contoh harusnya beginilah, bila mau memajukan bangsa Indonesia, smoga ketemu dan tumbuh umar bakry 2x di persada nusantara hingga mampu membawa Indonesia bersaing dgn negara super power mendatang !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenarnya bisa, namun entah kenapa bibit ke arah itu selalu dimatikan dan lebih didukung kontes ratu ratuan apa selebritis instan modal sms...

      Hapus
  5. Sudah ga ada guru semacam omar bakri, sekarang kbnyakan menyambi bisnis segala macam...kesian orangtua murid jadi terbebani saat ini..

    Potret pndidikan kita emang amburadul, ntah mulai darimana dan akan berakhir sampai mana...

    Eniwei, aku ga bakat jadi guru, bakatnya jadi bebek...

    BalasHapus
    Balasan
    1. biar bebek tapi kan penggemarnya brondong
      bisa dong jadi guru mereka...

      Hapus
  6. itu foto sepedah oemar bakery beneran ya

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena